Share |





Es Duren dan Mie Ayam Kantin Sakinah


Penulis : Iis Zatnika

Media Indonesia - ENTAH mengapa kantin ini dinamai Sakinah. Bisa jadi pendirinya bercita-cita punya keluarga yang ideal. Tapi buat warga Bandung, terutama anak-anak mudanya yang jadi konsumen terbesar tempat makan yang polanya mirip food court ini, cuma ada dua yang dicari di sini, yaitu es duren dan mie ayam. 

Ada beberapa booth yang menyajikan menu lain, namun yang melegenda dari tempat makan di Jalan Tubagus Ismail 1 ini memang dua menu tadi.

Setelah lebih dari satu dekade tak mampir ke Sakinah, istilah yang biasa dipakai untuk menyebut tempat ini, kami sempat terkecoh. Rupanya tempatnya yang semula ada di kiri telah bermigrasi ke kanan jalan, persis di depan halaman rumah yang dulu ditempati para pedagangnya. Kini, di lokasi lama bertengger rumah modern nan megah.

Hati pun sempat beryukur, para pedagang tak perlu tutup dan bahkan bisa terus berusaha di tempat yang cuma selemparan batu jaraknya dari lokasi lama.

Es duren datang pertama kali. Duren lokal bertabur es batu bersimbah susu kental manis putih. Porsi susunya pas, tak terlampau dominan sehingga menghilangkan peran sang aktor utama, yaitu si duren yang tampil lengkap dengan bijinya.
Daging durennya tentu tipis saja, layaknya buah legit lokal lainnya. Namun, pengalaman sang pedagang tentu membuat quality control mereka terjaga. Matangnya pas, manis, dan segar dengan tambaan es yang dicacah kasar.

Jika dihitung, durennya kurang dari sepuluh biji tapi pas buat menghilangkan rasa kangen pada buah duren lokal yang saat ini belum musim. Nilai plus Sakinah memang di sini, duren selalu tersedia kendati jauh dari musim. Harganya masih terbilang pantas, Rp14 ribu untuk es duren original dan Rp15 ribu untuk es duren yang diberi serutan kelapa muda.

Terlena gara-gara es duren, kami baru tersadar sudah memesan mie ayam juga. Kendati kurang pas, karena mestinya es duren jadi penutup makan siang, kami langsung terpana dengan rasanya.

Kenangan ketika masih kuliah, saat jajan di Sakinah jadi barang mewah, kembali melintas. Rasanya tak beda dengan suapan sepuluh tahun lalu. "Waduh lupa, kalau enggak salah bapak saya mulai jualan tahun 1976 atau 1967 yah. Pokoknya saya belum lahir, tapi jualannya dulu di depan jalan Tubagus Ismail, baru kemudian masuk Sakinah," kata Rian, sang peracik mie ayam sambil nyengir.

Kini, sepeninggal ayahnya yang telah wafat, Rian dan ibunya memasak sendiri mie, bakso dan rajangan ayam serta semua bumbu yang digunakan. Keduanya bekerja sejak sebelum subuh. Rian kemudian melanjutkan kerja dengan menunggui booth di Sakinah hingga malam menjelang.

Sebagai catatan, di kota Bandung tak sulit menemukan pedagang mie ayam atau mie yamin, sajian mie yang mirip mie ayam dengan pilihan rasa asin atau manis. Jika mampir ke kawasan Bandung Timur, ada pasar Cicadas. Di sana, di seberang sebuah pertokoan yang dulunya dihuni Matahari Department Store, terdapat kios mie ayam Jawa, bertengger setia sejak 1980. Hanya Rp4 ribu saja per mangkuk. Rasanya stabil sejak tiga puluh tahun lalu dengan mie racikan sendiri. (Zat/M-3)

Labels: