
JAKARTA--Media Indonesia.com - Orang Eropa dan kita biasa meminum kopi di waktu santai. Ternyata, budaya minum kopi warga Eropa berkaitan erat dengan kita di Indonesia.
Setidaknya, itu yang dapat dipetik Arief Prasetyo setelah menonton salah satu tayangan Euromaxx di DW-TV Asia+. Memang, lanjut pipe stress engineer di perusahaan asal Italia, PT Saipem Indonesia, ini, budaya ngopi di Eropa tidak bermula dari kafe, melainkan di rumah. Artinya, budaya ngopi Eropa tidak bermula dari ajang sosial. Tapi, seiring waktu, kedai kopi di Eropa mulai menjamur hingga sekarang dan menjadi tempat ngobrol.
Dengan penetrasi kuat Amerika Serikat dalam waralaba kedai kopinya, membuat budaya ngopi di kafe menjadi lumrah di seluruh dunia. Italia sebagai pionir minum kopi pun baru memiliki coffeehouse pada 1645.
Pertanyaannya, bagaimana budaya ngopi di Indonesia? "Jawabannya, lihat saja warung kopi yang bertebaran di nusantara," ujar Arief yang menggemari DW-TV sejak 2004. Ini dimulai dari warung kopi sebagai penengah konflik lokal di Aceh, ngobrol ngalor ngidul tengah malam di warung kopi arang di Yogyakarta, hingga ajang bertemunya penyanyi amatir karaoke di warung kopi Ambon.
Sudah begitu, banyak variasi jenis kopi. Ada kopi Aceh Gayo, kopi Toraja, kopi Papua, dan kopi Luwak yang melegenda sebagai kopi termahal di dunia. "Terdapat persamaan utama budaya ngopi Indonesia dengan Eropa, yaitu ngopi untuk mendapatkan suasana nonformal," jelas lelaki yang mengaku hobi berat meminum kopi ini.
Di kafe hingga warung kopi, semua orang menjadi lupa dengan strata sosial masing-masing dan melebur menjadi penikmat kopi. Selain itu, masih ada persamaan lainnya yaitu alokasi waktu tersendiri dalam menikmati kopi.
"Menjadi Italian sejati wajib memulai hari dengan menyeduh espresso baik di rumah atau sesampai di kantor. Tentu saja ritual ini dibarengi dengan sedikit chit chat bersama teman. Sama halnya di kita yang harus mengalokasikan waktu sendiri ketika berkunjung ke warung kopi," tukasnya.
Itu berbeda dengan budaya ngopi Amerika. Waralabanya memperkenalkan coffee run atau take away coffee atau ngopi dalam perjalanan ke kantor. Jadi, menurutnya, orang Amerika meminum kopi karena kehausan.
Mungkin persamaan kultur meminum kopi kita dengan orang Eropa ada keterkaitan dengan sejarah. Orang Belanda yang menjajah Indonesia selama 350 tahun ternyata suka sekali minum kopi. Asal tahu saja, Belanda menjadi negara Eropa pengimpor kopi terbesar di saat awal demam ngopi.
Sayangnya, Belanda dan negara Eropa lainnya tersiksa dengan monopoli kopi pedagang Arab dan pencegahan penyelundupan bijih kopi oleh negara-negara Arab. Namun, akhirnya Belanda memperoleh bijih kopi selundupan dan membawanya ke negara-negara koloni di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Kopi sejatinya diawali sebagai minuman di beberapa negara muslim Arab dan Afrika Utara. Tanaman ini diperkenalkan ke masyarakat Eropa melalui pedagang muslim yang berkunjung ke Venesia, Italia. Dengan cepat, komoditas ini tersebar ke seluruh Eropa.
Lantas, muncul cerita pro kontra. Banyak pendeta di Italia yang melarang pengikutnya minum kopi karena merasa kopi adalah 'komoditas politik' kaum muslim sekaligus akan menggeser anggur yang dikenal lebih dulu oleh mereka. Di kaum muslim sendiri, ulama konservatif di Mekah juga sempat melarang kopi karena ada efek kafein dikandungnya. Walaupun begitu, lambat laun larangan itu terkikis juga karena tidak berdaya oleh rasa ketagihan peminum kopi.
Selain itu, "Dalam segmen pengusaha yang sukses, Euromaxx juga mengupas seorang ibu rumah tangga Jerman bernama Melitta Bentz yang menemukan ide penggunaan filter kertas dalam menyajikan kopi di rumahnya," ujar Arief yang kini menonton DW-TV Asia+ lewat Indovision. Ide brilian ini memungkinkan menikmati kopi tanpa terganggu ampasnya dengan tidak mengurangi rasa maupun aroma.
Filter kertas ini menghindari rasa pahit kopi akibat kepanasan saat penyeduhan. Maklum, salah satu metode penyeduhan kopi saat itu adalah dengan cara memasak bubuk kopi dengan airnya. Filter kertas juga dipandang lebih unggul daripada pemakaian kain saring yang harus dicuci setelah memisahkan ampas kopi. Ukuran pori di filter kertas yang pas diyakini membuat bubuk kopi terekstrak sempurna sehingga rasa dan aromanya semakin keluar.
Filter kopi berbahan kertas ini merupakan inovasi kecil namun membawa bisnis sukses secara global seiring mendunianya budaya minum kopi. Negara-negara Eropa menguasai 50% lebih konsumsi kopi dunia diikuti oleh Amerika Serikat. Tentu ini menjadi market yang tidak bisa diabaikan. (Was/OL-5)
Labels: Humaniora