
Sumber: http://www.mediaindonesia.com
PERHATIAN dunia tertuju ke Afrika Selatan mulai tadi malam. Mata dunia melihat ke sana bukan karena negara itu sudah bebas dari politik apartheid yang meminggirkan peran ras kulit hitam.
Akan tetapi, mulai tadi malam hingga 11 Juli mendatang, perhelatan akbar Piala Dunia 2010 digelar di Afrika Selatan. Miliaran mata warga planet ini akan menyaksikan kehebatan 32 tim terbaik sepak bola antarnegara.
Daya tarik ritual sepak bola empat tahunan itu bukan semata-mata pada sportivitas di balik kemenangan. Lebih dari itu, sepak bola telah menjadi ukuran baru peradaban sebuah bangsa.
Kemampuan Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010 telah mengangkat harkat dan martabat bangsa itu pada tempat terhormat di antara bangsa-bangsa yang lain. Begitu pula 32 negara yang mengikuti Piala Dunia, sesungguhnya mereka sedang berlomba-lomba menjadi bangsa terhormat.
Sayangnya, ini yang membuat kita harus mengurut dada, sepak bola di Indonesia justru memperlihatkan kemunduran peradaban. Sebab lapangan hijau bukan lagi ajang mempertontonkan teknik individu dan kerja sama tim dalam mengolah si kulit bundar. Lapangan sepak bola telah dijadikan ladang pembantaian, main pukul dan baku hantam.
Jelas, ada yang tidak beres dalam pembinaan sepak bola di Tanah Air. Dikatakan tidak beres karena inilah satu-satunya cabang olahraga yang paling digemari, tetapi defisit prestasi. Jangankan di tingkat dunia, untuk level Asia Tenggara saja prestasi sepak bola Indonesia terpuruk, sangat terpuruk. Ironisnya, bangsa ini memelihara ketidakberesan pembinaan sepak bola berlama-lama.
Adalah kebanggaan semua anak negeri ini bila Indonesia bisa tampil di pentas Piala Dunia. Sudah bosan menjadi penonton selamanya. Harus ada mimpi besar bahwa Indonesia suatu ketika ikut berlaga dalam peradaban sepak bola dunia.
Namun, mimpi itu untuk sementara terpaksa dibuang jauh-jauh sepanjang komunitas sepak bola Indonesia masih bangga dipimpin seorang mantan narapidana korupsi. Lebih tidak masuk akal lagi, negara bertekuk lutut kepada pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Harapan untuk membenahi karut-marut sepak bola sempat muncul ketika negara merestui pelaksanaan kongres sepak bola pada akhir Maret lalu. Itulah kongres yang melibatkan segenap pemangku kepentingan untuk menerobos dan mengurai kebuntuan prestasi sepak bola.
Akan tetapi, lagi-lagi negara harus kalah wibawa dan pengaruh dari pengurus organisasi sepak bola. Kongres itu hanya menghambur-hamburkan uang karena rekomendasinya, antara lain mereformasi kepengurusan PSSI, hanyalah macan kertas yang hingga kini tidak pernah bisa dilaksanakan.
Lebih celaka lagi, menteri yang mengurusi olahraga lebih doyan berebut kekuasaan di partai daripada berebut prestasi olahraga dengan membenahi dan mengatasi secara menyeluruh persoalan persepakbolaan di Tanah Air.
Perhelatan akbar Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan harus memicu tekad bangsa ini untuk tidak puas menjadi penonton Piala Dunia sepanjang masa.
Labels: Piala Dunia
























