
PUISI DAN PIDATO
Acep Zamzam Noor
Rasanya menarik jika membandingkan pidato dengan puisi, atau membandingkan mubalig dengan penyair. Pidato sebenarnya lebih dekat pada teater ketimbang sastra, sedang mubalig lebih mirip aktor ketimbang penyair. Maka seperti halnya aktor, seorang mubalig dituntut mempunyai vokal yang bagus, gerak tubuh yang lentur, juga stamina serta daya ingat yang tinggi. Seperti halnya aktor yang diharuskan menghapal naskah di luar kepala, mubalig wajib menghapal ayat-ayat. Dan seperti halnya aktor, mubalig juga dituntut memikirkan performance, paham bagaimana mengatur tempo dan tahu kapan saatnya berimprovisasi. Oya, beberapa tahun yang lalu saya pernah iseng membikin naskah pidato dan diberikan pada seorang aktor. Dan ketika aktor itu ditampilkan bersama para mubalig, lengkap dengan kostum ala Pangeran Diponegoro, hasilnya ternyata luar biasa.
Lalu bagaimana dengan penyair? Penyair pada dasarnya hanyalah penggubah syair. Jadi tak berbeda jauh dengan pengarang pada umumnya. Namun dalam khasanah kesusastraan lama terdapat tradisi yang disebut sastra lisan, di mana selain menggubah mereka juga menembangkan syair-syair karyanya di depan publik. Dengan demikian banyak penyair (biasanya disebut pujangga) yang dikenal secara langsung oleh publiknya. Tradisi sastra lisan ini masih terus berlanjut sampai sekarang meski dengan istilah yang kemudian kita kenal sebagai pembacaan puisi.
Berbeda dengan pidato yang melibatkan publik luas, pembacaan puisi biasanya hanya digelar untuk forum-forum khusus dan terbatas. Dengan demikian popularitas seorang penyair pun menjadi khusus dan terbatas pula. Jika ada penyair paling terkenal di negeri ini melakukan poligami, mungkin reaksi publik dan media massa tak akan seramai jika Aa Gym kawin lagi. Begitu juga kalau penyair bercerai dengan istrinya, rasanya tak akan seheboh jika Rhoma Irama menceraikan Angel Lelga misalnya.
Kenapa penyair tak mudah digoyang urusan pribadi? Hal ini disebabkan karena penyair tidak dibentuk secara instan oleh media massa semacam televisi. Juga tidak dibesarkan oleh eforia para penggemar fanatiknya. Keberadaan penyair ditentukan nilai karya serta integritas kepenyairannya sendiri. Maka puisi-puisi Chairil Anwar akan terus dikenang sekalipun semua orang tahu kehidupan pribadinya berantakan. Begitu juga dengan Rendra yang karya-karyanya tetap diminati meskipun pernah berpoligami. Keberadaan seorang penyair di tengah masyarakat adalah ikon, bukan idol sebagaimana artis. Ini juga yang membedakan antara kiai dengan mubalig. Kiai itu sebenarnya ikon, bukan idol. Makanya tidak semua kiai adalah mubalig kondang, juga tidak semua mubalig kondang otomatis kiai.
***
Saya senang sekali ketika mendengar Kang Maman, sebutan akrab dari K.H. Maman Imanulhaq Faqieh, akan meluncurkan buku kumpulan puisi dan meminta saya menjadi salah seorang pembicaranya. Saya senang karena pergesekannya dengan sejumlah seniman telah memberi manfaat yang luar biasa. Kini dakwah-dakwah yang dilakukan Kang Maman menjadi lebih berbudaya, pidato-pidatonya pun lebih bernuansa. Kang Maman juga semakin akrab dengan berbagai jenis kesenian, baik tradisional maupun kontemporer. Dengan demikian visi keagamaannya semakin tercerahkan hingga mampu berapresiasi terhadap segala macam perbedaan, termasuk dalam hal keyakinan. Kang Maman tidak lagi menampilkan diri sebagai sosok pembela agama yang gampang menghakimi orang dengan salah dan benar. Puisi telah membuatnya memahami dan menghormati adanya keragaman. Hal inilah yang membuat saya merasa lega dan gembira.
Dalam forum diskusi ini saya tidak akan mengulas puisi-puisi Kang Maman secara langsung, itu sudah menjadi tugas rekan saya Ahmad Syubanuddin Alwy untuk membedahnya. Tugas utama saya justru menyoroti hal-hal yang terjadi dan berkembang di luar puisi. Menurut saya hal ini juga penting dibicarakan mengingat belakangan banyak terjadi kesalahpahaman tentang posisi dan peran kiai. Saya menduga, salah satu penyebabnya karena begitu banyak kepentingan (baik politis maupun ekonomis) yang telah ikut melakukan berbagai pelabelan terhadap kiai. Kita mendengar ada label kiai khos, ada label kiai mbeling, label kiai sejuta umat, label kiai gaul, label kiai selebritis, kiai modis, kiai politis dan semacamnya. Label-label yang kedengarannya ganjil itu kemudian berdampak seolah kiai tak ada bedanya dengan artis yang popularitasnya bisa diangkat secara instan dan kemudian jatuh secara instan pula. Diangkat ketika ratingnya di televisi tinggi, kemudian jatuh ketika sudah tidak laku lagi. K.H. Zainuddin M.Z. dan K.H. Abdullah Gymnastiar mungkin hanyalah contoh kecil dari kondisi ini.
Sebagai seorang teman yang mengapresiasi semua aktivitas dan kreativitas Kang Maman, saya ingin menutup tulisan ini dengan beberapa pesan. Pertama, teruslah menulis puisi karena menulis puisi itu menyehatkan. Bukan hanya menyehatkan bagi diri sendiri namun juga bagi orang lain. Kedua, berhatilah-hatilah terhadap godaan politik praktis karena politik jenis itu sering menyesatkan. Bukan hanya menyesatkan bagi diri sendiri namun juga bagi orang lain. Kalau mau jujur, pada era sekarang belum ada seorang pun kiai yang sukses memberikan pencerahan dalam carut marut dunia perpolitikan kita. Alih-alih memberi pencerahan, malah masuk penjara karena terjebak korupsi. Ketiga, banyak-banyaklah bersyukur karena tidak semua orang bisa menjadi kiai sekaligus penyair. Menjadi kiai sekaligus penyair sudah merupakan nikmat yang besar, maka tidak perlu ditambah dengan label lain seperti broker politik atau tim sukses misalnya. Nanti malah ruwet jadinya.
Sumber http://budayaacepzamzamnoor.blogspot.com/2009/07/artikel-7.html
Labels: Baris, Iklan, Iklan Baris Koran Via SMS, Koran, SMS, via