
Dengan nada menggoda, perempuan cantik itu sambil tersenyum lebar berkata, "Apa Kata Dunia?" Iklan itu sangat mengesankan. Mungkin juga efektif untuk mengerahkan pembayaran pajak. Tetapi akhir-akhir ini ada keraguan, apakah itu imbauan jujur, atau garapan mafia pajak?
Berbagai cobaan silih berganti menghantui masyarakat ini. Apakah tidak ada yang bisa dipercaya lagi? Rasanya perlu ada gerakan moral besar-besaran untuk keselamatan dan kemaslahatan bersama; dimulai dari diri pribadi, dari keluarga sendiri. Kita harap saja pembenahan oleh segenap keluarga nuklir--ayah, ibu, dan anak-anak--akan meluas ke masyarakat yang notabene adalah himpunan keluarga-keluarga nuklir.
Kurang akal atau kurang nyali?
Seperti pernah beberapa kali dinyatakan dalam kolom ini, pencanangan 'ganyang mafia hukum' sebagai program prioritas 100 hari pemerintahan ke-2 SBY telah membangunkan 'harimau tidur'. Sekarang memang masih karut-marut. Para pengambil keputusan saling menuding. Masyarakat ramai menuduh. Tetapi pada saatnya nanti, semua kegaduhan akan reda dan mafia hukum, mudah-mudahan, akan pelan-pelan mati. Pada saat itulah kita bisa berbangga bahwa, untuk pertama kali dalam sejarah republik ini, kita berhasil menumpas mafia hukum yang berimbas pada matinya budaya korupsi. Budaya yang mulai berkecamuk dengan banjirnya petrodollar sejak tahun tujuh puluhan itu tampaknya makin lama makin menjadi-jadi. Mungkin mereka yang korup merasa sudah terlalu lama hidup sederhana. Feodalisme yang tersisa, yang terbiasa dan selalu mengangankan kemewahan, tumbuh merajalela.
Siapa yang salah? Semua telunjuk mencari sasaran. Yang terlepas dari perhatian adalah peran kaum perempuan. Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum secara universal menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban sama. Tetapi kenyataan membuktikan lain. Laki-laki umumnya masih saja mengontrol setiap jejak kehidupan dan penghidupan. Di lain pihak, hasil-hasil pengamatan antropologis dan sosiologis menganggap perempuan umumnya sebagai pengelola kasih sayang dan penjaga kehidupan moral. Alasannya, karena dia berbeda genetika dengan laki-laki. Dia mencintai keadaban dan perdamaian. Hatinya lebih banyak berbicara daripada akalnya.
Dengan nada lain, ada anggapan akal dan pikiran perempuan kurang dinamis. Intelektualitasnya rendah. Perempuan tidak secerdas laki-laki yang pada dasarnya memang lebih agresif secara fisik maupun pikiran. Mungkin itu bisa menjelaskan mengapa dari puluhan kalau bukan ratusan koruptor kakap hanya terdapat 1-2 gelintir perempuan?
Mudah-mudahan alasannya bukan karena perempuan kurang akal atau kurang nyali. Mudah-mudahan karena kaum perempuan umumnya lebih mengedepankan moral dan keadaban. Atas dasar itu pula perempuan dianggap menjadi penjaga kehidupan moral keluarga yang berfungsi mengawasi agar tidak ada anggotanya yang membawa aib bagi keluarga.
Apa kata perempuan?
Bahwa perempuan lebih banyak berbicara dengan hati, memang sering terbukti. Demi kedamaian, dia tidak sampai hati kalau bukan tidak berani mengingatkan suami yang melakukan korupsi. Bisa juga karena dia tidak mengerti, atau tidak peduli. Dengan bersikap demikian dia merasa menjaga kefemininannya--sifat yang menjadi pujaan laki-laki.
Alasan lain, perhatian istri terlepas dari tindak pidana suami karena merasa terlalu sibuk dengan urusannya sendiri: sebagai istri, ibu yang harus mengurus dan membesarkan anak-anak dan penjaga citra keluarga. Bahkan mungkin dia merasa lega keluarga tidak hidup kekurangan--malahan hidup berlebihan--tanpa dia harus peduli dari mana datangnya rezeki. Lagi pula kalau tidak percaya kepada suami, kepada siapa lagi? Pikiran semacam ini bahkan ada pada perempuan-perempuan terdidik, tetapi yang pasrah dan pasif terhadap hiruk-pikuk kehidupan dan penghidupan di sekitarnya.
Pertanyaannya, "Apa kata perempuan"? Seandainya ada gugatan semacam itu, semacam iklan yang digencarkan kantor pajak, mau tak mau tentu ada rasa bersalah pada pihak perempuan pendamping koruptor kakap. Ada ungkapan: di belakang setiap tokoh, selalu ada perempuan perkasa yang mendukungnya. Asalkan bukan justru sang istri yang membuat suami menjalankan korupsi. Sering, mungkin tanpa sadar, justru perempuan-perempuan semacam itu yang memamerkan kemewahan berlebihan dalam segenap tindak-tanduknya, seperti yang dilakukan perempuan-perempuan kelas atas Eropa di abad 17-18, ketika fungsi mereka antara lain dengan sengaja memamerkan kekayaan suami demi citra keluarga.
Di masa Orde Baru, pernah diumumkan berlakunya pola hidup sederhana. Waktu itu pun barangkali dirasakan berjangkitnya pameran kekayaan yang berlebihan. Atas kesepakatan, 10 tahun setelah reformasi, kita pun bisa mengumumkan berlakunya 'pola hidup sederhana', demi percepatan matinya budaya korupsi.
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Gorup
Sumber http://www.mediaindonesia.com/read/2010/04/09/134707/68/11/Apa-Kata-Perempuan
Labels: Baris, Iklan, Iklan Baris Koran Via SMS, Koran, Media Indonesia, SMS, via